INIADALAH RINGKASAN RIWAYAT HIDUP PARA ULAMA DANHABAIB DI INDONESIA As Sayyid Al Habib Al Ustadz Muhammad bin Husein bin Ali bin Muhammad Ba’abud Al Alawi Al Husaini yang berhubungan dengan nasab beliau, masa pertumbuhan beliau, keluarga beliau, masa pendidikan, serta jasa beliau di dalam mengajarkan Al-Qur’an, bahasa Al-Qur’an, Beritadan foto terbaru Mbah Sambu Lasem - Profil Gus Baha, Putra Ulama Ahli Quran dan Santri Kesayangan Mbah Moen yang Kini Digandrungi Rabu, 12 Januari 2022 Cari MEDIABLORA - Berikut ini adalah artikel tentang profil dan biodata Agi Syahrain, putra Ine Sinthya yang Tampan Mempesona. Ine Sinthya mempunyai anak yang menginjak dewasa bernama Agi Syahrain. Agi Syahrain merupakan anak sulung dari Ine Sinthya. Baca Juga: Libur Idul Adha 2022 Berubah, Berikut SKB 3 Menteri Tentang Libur Hari Raya Idul Adha PengakuanSang Putra Kenapa Mbah Moen Disayang Allah Gus Idror. Skip to main content. Due to a planned power outage on Friday, 1/14, between 8am-1pm PST, some services may be impacted. A line drawing of the Internet Archive headquarters building façade. An illustration of a magnifying glass. Menurutalmarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. putra al-Iman Sayid Mahmud bin Thohir, putra al-Imam Abi Atho, putra sayid Abdulloh al MbahMangli, tahun 1980-an, di daerah Magelang ada seorang kyai yang amat terkenal. Namanya Kyai Hasan Asy’ari. Tapi orang menyebutnya Mbah Mangli karena sang kyai tinggal di desa Mangli, Kabupaten Magelang. Pengajiannya dihadiri ribuan orang dari mana-mana dan Mbah Mangli selalu menyediakan konsumsi gratis untuk orang yang datang ke Usaisalat, lantas Gus Najih memimpin doa. Prabowo tampak terharu mengingat kenangannya bersama almarhum Mbah Moen. EKs Danjen Kopassus itu pun tak mampu menahan tetesan air matanya. Gus Najih yang menyaksikan kekhusyukan Prabowo mengamini doa itu mengatakan, Prabowo memang sudah menganggap Mbah Moen seperti ayahnya sendiri. Utama Handy Putra (2009) Analisis Hukum Islam Terhadap Pola Kemitraan Dalam Usaha Peternakan Ayam Broiler Di Pt Kenonggo Perdana Pasuruan. Undergraduate thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya. Katsrini, Dwi Riyanti (2009) JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN MURABAHAH MASALAH DI BANK BUKOPIN SYARI'AH SURABAYA DALAM PERSPEKTIF PesanMbah Moen untuk Gus Miftah, Dakwah di Dunia Malam Dilanjutkan. Chandra Iswinarno Selasa, 06 Agustus 2019 | 14:51 WIB Selasa, 06 Agustus 2019 | 14:51 WIB Disamping itu juga berguru pada KH Arwani (Kudua), KH Ali Maksum (Krapyak, Jogja),Mbah Mangli (Magelang), KH Muslih (Mranggen Demak), Mbah Benu (Jogjakarta). Dari pernikahan ini ia dikaruniai seorang putra yaitu Thohir Falak. Sedangkan beberpa orang istri lainya, yaitu Siti Tjiwaringin,Maimunah,Mimi, dan Ibi. KH Abbas Buntet, Gus Dim 3HJrS. Al-Maghfurlah KH. Hasan Asy'ari Gus Eva bin KH. Hasan Asy'ari Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah. Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN. Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia. Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau. Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan "Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri" Mbah Mangli dikaruniai karomah "melipat bumi" yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah "apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti" Langgar LingganBangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin 80, penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli. MendoakanDengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. Pesantren Sederhana di Lereng GunungPONDOK Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara loud speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75 warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok. Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN. Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks MMC. ”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi. Tasawuf Sunyi setelah Mbah MangliSEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir. Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut. Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing Candi Mulyo, dan lainnya. Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi. Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone hp dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. ”Tiyang mriki kagem ngalap barokah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu,” ungkap Gus Munir yang menerima Suara Merdeka dengan ramah. Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga. Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat. ”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih. Mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok. ”Gus Munir memang sangat menjaga dan berhati-hati dalam segala hal. Ia kiai yang alim dan bijaksana,” kata Paidi 70 salah satu sesepuh Dusun Mangli. Muslim Obsession – Kisah tentang karomah para wali hampir sering didengar masyarakat Indonesia, terutama umat Islam. Selain sembilan wali yang dikenal sebagai Wali Sanga, para penyebar agama Islam di Pulau Jawa, kisah karomah juga dimiliki para wali lainnya. Salah satunya adalah seorang waliyullah yang termashur dengan karomahnya, KH. Hasan Asy’ari. Masyarakat Jawa terutama di sekitar Magelang mengenal ulama kelahiran Kediri, 17 Agustus 1945 tersebut dengan nama Mbah Mangli. Terlahir dengan nama Muhammad Bahri, Mbah Mangli menikah dengan Hajjah Ning Aliyah. Keduanya dikaruniai satu putra serta tiga putri Gus Thohir, Nimaunah, Nimaiyah, Nibariyah. Nama “Mangli” yang disematkan kepadanya dikarenakan putra bungsu dari ulama kharismatik, Muhammad Ishaq, ini tinggal di Dusun Mangli, Desa Girirejo, Ngablak, Kabupaten Magelang. Terlebih lagi setelah beliau mendirikan pondok pesantren salafiyah pada 1959 di dusun tersebut. Baca juga Ngaji Sejak Kelas 2 SD, KH. Muammar ZA Sudah 58 Tahun Jalani Profesi Sebagai Qari Pondok pesantren yang didirikannya tidak memiliki nama resmi, namun lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Pondok Pesantren Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Secara silsilah dari ayahnya, mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah ini masih keturunan dari Maulana Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Adapun dari garis ibu, Mbah Mangli merupakan keturunan dari KH. Ageng Hasan Besari yang juga masih keturunan Sunan Kalijaga. Ayahnya mendidik Mbah Mangli dengan disiplin pendidikan yang ketat dan sangat keras. Konon, beliau diharuskan menghafal kitab Taqrib dan maknanya, serta mempelajari Tafsir Alquran baik makna maupun nasakh dan mansukh-nya. Baca juga Seru! Qari Legendaris KH. Muammar ZA Beberkan Rahasianya Memiliki Nafas Panjang Selain menjadi mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, Mbah Mangli juga merupakan pengikut Tarekat Alawiyyah. Ia sering mengikuti Maulid Nabi Muhammad di Masjid ar-Riyyadh, Pasar Kliwon, Surakarta pimpinan Habib Anis bin Alwi al-Habsyi. Adapun wiridan wajib di Pondok Pesantren Mangli adalah rotib Alhadad, rotib Alatas dan rotib syakron yang sampai sekarang masih dilaksanakan. Karomah “Melipat Bumi” Banyak kisah yang beredar jika Mbah Mangli memiliki karomah. Satu di antaranya adalah karomah “melipat bumi”, dimana beliau bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Konon, beliau juga diketahui memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, Mbah Mangli, bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta, dan bahkan Sumatra. Baca juga Kisah Ki Bagus Hadikusumo Menolak Sake Kaisar Hirohito Karomah lainnya, dalam setiap mengisi pengajian, Mbah Mangli tidak memerlukan pengeras suara meski jamaah yang menghadiri pengajiannya mencapai puluhan ribu orang. Hebatnya, tak satupun jamaahnya yang tidak mendengar suara ceramah Mbah Mangli. Mbah Mangli wafat pada akhir tahun 2007. Beliau dimakamkan di Dusun Mangli, Ngablak, Kabupaten Magelang. Wallahu a’lam bish shawab. Fath Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau juga dikenal dengan nama Mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kiai sederhana penuh karamah. Menurut almarhum Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. Mbah Mangli adalah Mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN. Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam API di Tegalrejo, Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia. Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau. Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan "Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri," Mbah Mangli dikaruniai karamah 'melipat bumi' yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah "apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti" Langgar Linggan Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin 80, penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli. Mendoakan Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan Wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi pesantren ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Ahad mengaji ke pesantren tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. Pesantren Sederhana di Lereng Gunung Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh pesantren ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Cerita yang beredar di masyarakat, Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta, dan bahkan Sumatera. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara lound speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75 warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok. Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN. Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks MMC. ”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi. Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli Sejak Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir. Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pesantren tersebut. Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Ahad di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing Candi Mulyo, dan lainnya. Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi. Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone hp dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. ”Tiyang mriki kagem ngalap barakah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu,” ungkap Gus Munir. Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga. Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat. ”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih, mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok. Editor M Ngisom Al-barony